
Juga masih terbayang dalam kepala bagaimana kita saling bertukar kisah dan cerita pada malam hari menjelang dan sesudah aksi. Ditemani kopi panas yang kita beli “bantingan” satu persatu kita lancar bertukar kisah. Kisah tentang bagaimana kita meyakinkan kawan-kawan di pabrik bahwa sikap perlawanan kita adalah benar. Kisah membanggakan bagaimana kita mampu mengumpulkan sebagian dari upah kita yang tak pernah cukup untuk membantu kawan kita yang menjadi korban gempa kemarin. Kisah tentang bagaimana aksi kita di depan pabrik di hadang preman dan polisi, atau kisah rapat-rapat pembagian kerja kita dalam melakukan pengambil-alihan pabrik. Ah, demikian banyak kisah yang seharusnya bisa kita bagi dan tulis dalam ingatan.
Seharusnya kita bisa tertawa bersama. Seharusnya kita bisa bersedih bersama. Dalam tawa dan sedih kita semakin menyadari bahwa keberhasilan bukan untuk disombongkan dan kegagalan bukan untuk ditangisi. Karena kita belajar dari kedua hal tersebut dan kita akan menjadi semakin kuat.
Kawan, semua bayangan itu berantakan ketika di malam itu kabar berdatangan satu-satu. Kawan Surabaya di-sweeping di kereta api. Mereka yang bandel dan lolos di sweeping lagi di Semarang dan juga Tegal. Berbarengan berita dari Bandung datang. Pool bis yang sudah kawan-kawan sewa di blokade aparat dan dikelilingi police-line, sementara sekretariat di tanah Priangan di kepung oleh aparat semalaman. Kaget belum menguap, Karawang memberi kabar. Bus yang sudah disewa tidak bisa berangkat karena pemilik bus ketakutan diancam aparat. Tangerang masuk dengan berita senada. Bekasi masuk juga berkabar sama. Marah mengumpal. Hingga saat ini.
Sesak haru semakin mengembang ketika subuh menjelang dan kawan-kawan dari berbagai daerah tiba dengan wajah lelah dan kusut meski senyum tetap mengembang. Inilah kawan-kawan yang bisa lolos dari ribuan kawan yang seharusnya bisa berkumpul bersama. Terbayang perjuangan kawan-kawan untuk menembus segala blokade dan represi aparat yang menghadang langkah ke Jakarta. Kita berjabat erat. Lama. Dengan sejuta rasa bangga dan haru yang menggumpal dalam dada.Kawan, aksi kita kemarin memang tidak sebesar yang kita rencanakan. Namun aksi kita kemarin sudah menggariskan dengan tegas apa yang tidak berani dilakukan oleh para politisi penjual suara yang pengecut. KASBI memang belum menjadi yang terbesar. Tapi sejak dahulu kita memang selalu berani untuk memiliki sikap tegas terhadap penindasan. Kita tak pernah mundur selangkahpun untuk menyatakan OPOSISI terhadap rejim penindas kaum buruh.
Kawan, mungkin saat ini kita memang tak bisa bertemu secara fisik. Namun di hati kita masing-masing kita semua tahu bahwa kita selalu bersama. Apa yang dilakukan kemarin oleh rejim neoliberal dan aparatusnya semakin menyadarkan kita bahwa mereka ketakutan pada kita. Takut karena apa yang kita suarakan ada benar dan apa yang kita tagih adalah adil. Tak ada yang bisa menyanggah itu.
Kawan, surat ini adalah pelipur rindu kita yang dikacaukan oleh rejim neoliberal kemarin. Tentu, surat ini tak bisa menggantikan indahnya pertemuan dan gandeng tangan saat kita turun ke jalan. Namun, surat ini adalah tumpahan rasa haru dan bangga kepada kawan-kawan semua atas apa yang telah sama-sama kerjakan. Kepada kawan-kawan semua dimanapun berada, kita tetap satu hati, satu sikap dan satu tindakan meski jarak berjauhan. Kawan, haru dan bangga kami padamu yang tak pernah putus.
Muda Berani Militan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar