Obituari Gus Dur


Sosok Kontroversial yang Eksentrik*

Kabar wafatnya Gus Dur, saya terima melalui SMS dari berbagai kolega yang bertubi-tubi “menyerbu” ponsel saya. Tentu saja kabar itu membuat saya terhenyak lalu istirah sejenak di tengah kesibukan mempersiapkan acara Refleksi Akhir Tahun Forum Pelangi Kalimantan Timur di Bina Insan (30 Desember 2009).

Padahal dalam diskusi publik sesi pagi di acara refleksi akhir tahun Forum Pelangi, yang dihadiri oleh teman-teman Jemaah Ahmadiyah Indonesia (JAI), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Komisi Kepemudaan Keuskupan Agung Samarinda dan kolega LSM, kami berdiskusi mengenai “Kebebasan Berkeyakinan dan Hak Asasi Manusia,” yang aura kental pluralisme dan multikulturalisme tidak semata terungkap dalam tataran teoritik melainkan juga praksis. Tak terduga, ternyata sang pejuang pluralisme dan multikulturalisme itu wafat pada Rabu, 30 Desember 2009, pukul 18.45 WIB di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Saya mengenal pemikiran Gus Dur sejak paruh waktu tahun 80-an melalui berbagai tulisan di media cetak. Pada saat itu pula, saya sedang penuh semangat mendalami gerakan sosial melalui pemikiran Antonio Gramsci. Sejatinya memang ada persentuhan mendasar dari pemikiran kedua tokoh yang saya kagumi itu. Maka tak pelak, saya terseret dalam kenikmatan dua arus pemikiran yang dinamika dialektikanya amat dahsyat. Hingga akhirnya, saya merasa menjadi “anak ideologis” Gus Dur. Kini saya baru sadar, ternyata saya juga “seorang Nahdliyin” meski saya beragama Katolik.

Dalam tataran empirik, saya niscaya bahwa warisan kearifan mengenai makna kenegaraan, keagamaan dan kemanusiaan dalam hakikat yang murni dan sejati dari sosok Gus Dur yang kontroversi dan eksentrik, sebagaimana diungkapkan Jaya Suprana, amat berpengaruh dalam perjalanan peradaban bangsa Indonesia. Bahkan dalam konteks perjalanan peradaban bangsa, Jaya Suprana memadankan sosok Gus Dur yang kontroversial dan eksentrik itu dengan Socrates sang filsuf legendaris dari Yunani. Mengenai hal itu, saya sepakat meskipun itu diungkapkan seorang ahli kelirumologi. Namun saya niscaya dalam hal ini, Jaya Suprana tidak keliru.

Dari sekian banyak sisi kontroversial dan ke-eksentrik-an Gus Dur, salah satu yang acap dibincangkan oleh publik adalah perubahan suasana di Istana Negara. Wajah Istana Negara semasa kepemiminan Gus Dur berubah total, tidak lagi angker dan formal. Wartawan maupun masyarakat bisa memiliki akses yang leluasa. Relasi kemanusian yang terbangun menjadi lebih cair dan penuh guyon, demikian dikatakan Myrna Ratna, seorang jurnalis yang acap meliput kegiatan Gus Dur di Istana Negara.

Arkian, ibarat sebuah kitab, Gus Dur memang kitab yang tak akan pernah habis terbaca dengan multiperspektif. Bahkan semakin dibaca, kian banyak ditemukan”paragraph” yang kontroversi dan eksentrik namun niscaya bermakna hikmah pembelajaran. Misalnya, beliau adalah seorang Kyai yang amat fasih tatkala menulis kolom di media mengenai pertandingan sepakbola. Dan masih banyak contoh lain yang menggambarkan ke-eksentrik-an beliau sebagai sosok multi-dimensional.


Jendela Terbuka bagi Dunia

Semasa hidupnya Gus Dur sungguh telah menjadi jendela bagi Nahdlatul Ulama (NU) kepada dunia. “Sebagai orang muda yang pulang dari Timur Tengah, tiba-tiba berbicara soal hak asasi manusia, demokrasi dan pluralisme. Selain kontroversi, beliau sangat impresif karena dari rumpun subkultur pesantren, tapi dia berbicara dalam wacana yang sangat konteporer,” ungkap Moeslim Abdurrahman mengenang mendiang Gus Dur.

Dalam ingatan Moeslim Abdurrahman, Gus Dur sangat konsisten dalam tiga hal. Pertama, negeri ini sudah memilih demokrasi, maka implikasinya harus tidak ada diskiriminasi. Kedua, demokrasi dan anti diskriminasi tak dapat dipisahkan dalam koridor hak asasi manusia. Sedangkan ketiga, pluralisme menjadi keutamaan bagi perjalanan bangsa Indonesia yang Bhineka Tunggal Ika.

Dalam konteks ini, posisi Gus Dur menjadi jelas, beliau tak semata menjadi inspirator melainkan memberi jaminan, ketika banyak orang ragu terhadap keberagaman. Dia adalah jendela terbuka, sehingga semua angin dapat berhembus sesuai fitrah keberagamannya.


Membaca Gus Dur

Bacaan publik terhadap jejak sejarah Gus Dur semasa hidupnya, lazim saja beragam. Namun tetap saja aura penghormatan terhadap peran Gus Dur dalam perjalanan bangsa amatlah kental. Misalnya ungkapan Romo Aloysius Budi Purnomo Pr dari Gereja Katedral Keuskupan Agung Semarang, mengatakan sosok Gus Dur menjadi cahaya bagi keagamaan dan keberagaman masyarakat Indonesia. “Maka tidak cukup hanya mengenang Gus Dur, kita yang masih hidup harus berkomitmen mewujudkan pemikiran Gus Dur,” demikian ungkap Romo Budi.

Sedangkan Pandita Henry Basuki dari Majelis Therevada Indonesia mengungkapkan, Gus Dur merupakan tokoh yang dapat menerima perbedaan sekecil apapun. Sementara itu, Bhiku Sri Pannyavaro Mahathera, Kepala Sangha Therevada Indonesia, merasakan kehilangan yang sangat besar dengan wafatnya Gus Dur. “Saya merasa ketulusan Gus Dur dalam setiap kesempatan bertemu dan berdiskusi dengan beliau. Ketulusan itu sesuatu yang teramat mulia dari Gus Dur,” ungkap pimpinan agama Buddha itu.

BM Billah mantan anggota Komnas HAM dan yang juga pegiat Ornop, menyebutkan salah satu sumbangan terbesar Gus Dur adalah meletakkan fondasi Islam sebagai rahmatan lil alamin atau rahmat bagi alam. Dengan prinsip itu, Gus Dur membawa umat Islam untuk menghormati secara tulus dan dalam iman terhadap umat agama lain, sehingga yang lain merasa aman dan dihormati.

Sedangkan penuh ketulusan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan, mendiang Gus Dur sebagai bapak pluralisme dan multikulturalis, mempunyai peran yang luar biasa dalam membangun fondasi masyarakat sipil, toleransi kehidupan beragama, multikulturalisme dan perdamaian abadi dalam koridor humanisme universal.

Maka sejatinya tak berlebihan, melalui siaran pers Perhimpunan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) meminta kepada pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada Gus Dur. Hal serupa juga disuarakan oleh Dewan Pimpinan Pusat Partai Persatuan Pembangunan (DP PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa.
Dalam alunan nada hormat yang sama, budayawan Muji Sutrisno SJ mengakui kepahlawanan Gus Dur. “Beliau adalah Bapak Bangsa, peneguh kemajemukan Indonesia dan pembela kaum minoritas yang dizalimi atas nama agama untuk menampilkan wajah Indonesia yang humanis,” ungkap Romo Muji.


Warisan Kearifan

Dalam rinai hujan yang rintik gerimis di Tugu Proklamasi, Jakarta (2/1/10) digelar hajatan mengenang Gus Dur bertajuk “Sejuta Lilin Duka Lintas Iman untuk Gus Dur,” selain lantunan doa mereka menyatakan tekad meneruskan semangat pluralisme yang diwariskan Gus Dur.

Hendaklah kita niscaya bahwa keberlangsungan ide dan pemikiran yang ditinggalkan Gus Dur, yakni gigih memperjuangkan demokrasi dan pluralisme menjadi tanggung jawab para pengikutnya. Dari sisi ajaran, NU menganut paham yang tasamuh (toleran), tawasuth (moderat), tawazun (hati-hati) dalam menyikapi setiap masalah dan I’tidal (adil). Sikap ini terus ditanamkan Gus Dur hingga akhir hayatnya. “Sekarang tergantung kepada yang mengaku pengikutnya,” ucap anggota Mustasyar Pengurus Besar Nahdlatul Ulama, KH Mustofa Bisri.

    Saya merasa ucapan Gus Mus, panggilan akrab KH Mustofa Bisri tidak hanya ditujukan kepada kaum Nahdliyin semata, melainkan kepada semua orang yang berkehendak baik meneruskan pemikiran Gus Dur tidak hanya dalam tataran teoritik, melainkan juga empirik.

Gus Dur telah wafat, tetapi warisan pemikirannya tak akan pernah mampu terpenjarakan oleh kematian. Suatu saat bila maut menjemput, saya berharap berjumpa Gus Dur di surga. Lalu saya berandai-andai, apakah di surga Gus Dur masih akan berujar, “Gitu aja kok repot.”

Selamat Jalan Gus, “In paradisum deducant te angeli” (Ke dalam firdaus, semoga para malaikat menghantarmu).

*Roedy AMZ,Koordinator Nomaden Institute for Cross Culture Studies

1 komentar:

www.sampara.com mengatakan...

Nice blog keep posting
www.sampara.com